Di tengah gempuran era digital yang penuh hiruk-pikuk informasi, kita kadang lupa bahwa bangsa ini pernah melahirkan tokoh-tokoh bijak yang tidak hanya berpikir jauh ke depan, tapi juga menanamkan prinsip keadilan dengan keberanian yang langka. Salah satu tokoh itu adalah Nene’ Mallomo, seorang cendekiawan Bugis dari Sidrap, Sulawesi Selatan, yang hidup pada abad ke-17. Ia bukan raja, bukan panglima perang, bukan orang kaya. Tapi suara dan ketegasannya melebihi segalanya karena ia berdiri di atas satu hal: kebenaran.
Jejak Sejarah yang Dilupakan Banyak Orang
Nama asli Nene’ Mallomo adalah La Pagala atau La Makkarau. Ia hidup di masa pemerintahan Raja La Pateddungi dan La Patiroi. Di antara kemelut politik dan persoalan adat kala itu, Nene’ Mallomo tampil sebagai penasehat kerajaan yang tidak hanya memberi nasihat, tapi merumuskan nilai-nilai kehidupan sosial. Ia adalah penggagas pangadereng—sistem norma masyarakat Bugis yang menyatukan nilai adat, hukum, moral, etika, dan keagamaan.
Yang membuatnya dihormati bukan hanya karena kepandaiannya, tapi karena prinsipnya yang tak tergoyahkan:
“Naia ande’ temmakkeana temmakeappo”
Hukum tidak mengenal anak-cucu.
Bayangkan, di masa kekuasaan raja, Nene’ Mallomo dengan lantang berkata bahwa hukum harus tegak walau itu menyakitkan darah daging sendiri. Bahkan dalam kisah turun-temurun, ia rela anaknya sendiri dihukum karena melanggar hukum. Ini bukan sekadar legenda. Ini adalah pelajaran tentang keberanian, integritas, dan prinsip.
Cermin Keadilan di Tengah Krisis Moral Hari Ini
Hari ini, kita hidup di zaman di mana hukum seringkali hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas. Banyak orang pintar, tapi sedikit yang punya nyali untuk adil. Kita punya teknologi, tapi kehilangan keteladanan. Maka dari itu, mengangkat kembali sosok seperti Nene’ Mallomo bukan sekadar nostalgia sejarah, melainkan usaha menyuntikkan nilai moral yang semakin langka.
Anak-anak muda perlu tahu, bahwa sebelum Indonesia merdeka, sebelum ada KPK dan sistem hukum modern, tanah Bugis sudah mengenal prinsip keadilan tanpa pandang bulu. Nene’ Mallomo adalah simbol bahwa menjadi bijak bukan soal kekuasaan, tapi soal keberanian memihak pada kebenaran.
Warisan yang Nyata, Bukan Sekadar Nama Jalan
Banyak orang mengenal nama Nene’ Mallomo hanya sebagai nama stadion, rumah sakit, museum, atau jalan raya. Tapi apakah kita benar-benar mewarisi gagasan dan keberaniannya?
Museum Nene’ Mallomo di Allakuang, Sidrap, memang telah dibangun. Tapi warisan sejatinya bukan pada bangunan, melainkan pada keberanian generasi muda untuk bersikap adil, berani berbeda, dan teguh dalam prinsip.
Jika Nene’ Mallomo hidup hari ini, mungkin ia akan kecewa melihat orang-orang yang membanggakan nama leluhurnya, tapi takut bersuara saat melihat ketidakadilan. Ia akan bertanya, “Di mana keberanian kalian menyuarakan kebenaran, jika kalian tahu apa yang benar namun memilih diam?”
Saatnya Generasi Muda Menjadi “Nene’ Mallomo” Baru
Mahasiswa, pemuda organisasi, aktivis komunitas kita adalah harapan baru. Kita tidak perlu menjadi raja untuk punya pengaruh. Yang kita butuhkan hanya satu: prinsip. Berani jujur walau tidak populer. Berani adil walau dibenci. Berani konsisten walau sendiri.
Itulah warisan sesungguhnya dari seorang Nene’ Mallomo.
“Membela kebenaran bukan karena kita suci, tapi karena kita tidak mau hidup dalam kepalsuan.”
Selama prinsip-prinsip seperti itu masih kita jaga, maka Nene’ Mallomo tidak pernah mati. Ia hidup dalam keberanian setiap anak muda yang menolak tunduk pada ketidakadilan.
Ditulis Oleh YusrilYasir
Kord.Kesra & Inventaris IPMI PUSAT SIDRAP Periode 2025-2027


Tinggalkan komentar