Lompobattang, Sulsel – Di antara jajaran gunung megah Sulawesi Selatan, Gunung Lompobattang dikenal bukan hanya karena keindahan alamnya, melainkan karena satu titik sakral yang menyimpan banyak cerita: Puncak Ko’bang. Terletak di ketinggian ±2.870 mdpl, Ko’bang berada tak jauh dari puncak utama Lompobattang (2.874 mdpl), namun memiliki daya tarik tersendiri karena nilai spiritual, sejarah, dan legenda yang menyelimutinya.
Makam Raja dan Jejak Ziarah

Ko’bang diyakini sebagai tempat peristirahatan salah satu Raja Gowa, menjadikannya sebagai titik ziarah yang dihormati masyarakat sekitar. Setiap tahun, terutama di bulan Zulhijjah, banyak peziarah yang mendaki untuk menjalankan tradisi “haji gunung”—sebuah ibadah lokal yang dipandang sakral dan diturunkan secara turun-temurun.
Tradisi ini menjadi bentuk spiritualitas khas masyarakat pegunungan yang memadukan keyakinan Islam dengan kearifan lokal. Doa-doa, lantunan dzikir, hingga harapan-harapan sunyi dilepaskan di Ko’bang, menjadikan tempat ini bukan hanya ruang pendakian, tetapi juga kontemplasi.
Legenda Raksasa dan Asal Usul Nama

Gunung Lompobattang berasal dari bahasa Makassar: Lompo berarti besar, Battang berarti perut—artinya “perut besar”. Sebuah dongeng rakyat menyebut bahwa gunung ini dulunya adalah raksasa pemakan manusia yang dikutuk menjadi gunung. Ko’bang dipercaya sebagai bagian dari tubuh raksasa tersebut, tempat paling tinggi dan sakral.
Cerita ini bukan sekadar mitos, tetapi mencerminkan bagaimana masyarakat memaknai bentuk alam sebagai bagian dari kosmologi dan sejarah leluhur mereka.
Jalur Pendakian Menuju Ko’bang

Pendakian menuju Ko’bang umumnya dimulai dari jalur Bonto Bahari, Kabupaten Bantaeng, melewati pos-pos hingga Pos 10. Dari sana, pendaki menuju ke Pos 11 dan lanjut ke Ko’bang melalui lintasan sempit, berbatu, dan cukup menantang. Meski sedikit lebih rendah dari puncak utama, banyak pendaki yang menjadikan Ko’bang sebagai tujuan utama karena nilainya yang lebih dari sekadar ketinggian.
Bagi yang baru pertama kali mendaki, disarankan untuk membawa pemandu lokal, mengingat medan yang licin dan kadang berkabut tebal.
Ko’bang dalam Diam: Warisan yang Menyatu dengan Alam
Ko’bang mengajarkan bahwa puncak bukanlah tempat untuk menyombongkan diri, tapi tempat untuk menyadari betapa kecilnya kita di hadapan alam dan sejarah. Banyak pendaki yang kembali dari sana bukan hanya membawa foto, tapi juga perasaan: bahwa mereka telah menyentuh sesuatu yang lebih dalam dari sekadar tanah dan langit.
Sebagai mahasiswa IPMI SIDRAP DAN MAPALA NENE MALLOMO, saya menyadari bahwa Ko’bang bukan hanya soal tinggi dan batu, tapi tentang akar budaya, spiritualitas lokal, dan warisan leluhur. Kita tidak cukup hanya mendaki dan menaklukkan alam kita harus memahami dan menjaganya.
Di Ko’bang, saya tidak hanya mendaki gunung
saya menuruni diri sendiri,
kembali pada akar dan makna.
OryzaSativa



Tinggalkan komentar