Lapagalanews – PANDANGAN Max Weber soal legitimasi kekuasaan patut jadi perenungan bersama akhir-akhir ini.
Menurut Weber, kekuasaan hanya akan ditaati jika dianggap sah oleh mereka yang dipimpin.
Demokrasi modern hidup dari legitimasi legal-rasional tersebut, yakni bentuk kekuasaan yang sah karena hadir melalui prosedur yang telah disepakati bersama dalam hal ini, Pemilu.
Pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisah pemilu nasional dan pemilu daerah, telah berkonsekuensi pada perubahan jadwal pelantikan anggota DPRD hasil Pemilu 2024 menjadi tidak serentak dengan pelantikan nasional.
Hal ini menandai titik kritis dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Konsekuensinya tidak ringan.
Putusan tersebut membawa implikasi langsung perpanjangan masa jabatan anggota legislatif daerah hingga dua setengah tahun lebih lama dari yang dijadwalkan semula tanpa pemilihan ulang, tanpa pembaruan mandat.
Jeda panjang ini bukan sekadar perkara administratif, tetapi ujian fundamental atas prinsip dasar demokrasi: apakah wakil yang menjabat terlalu lama tetap membawa representasi yang sah?
Hanna Fenichel Pitkin, dalam kajian klasiknya tentang konsep representasi menegaskan bahwa representasi bukan hanya soal keberadaan wakil dalam lembaga, tetapi tentang kualitas hubungan antara wakil dan yang diwakili.
Representasi substantif terjadi ketika wakil rakyat sungguh-sungguh bertindak mewujudkan kepentingan publik, bukan semata menempati posisi formal.
Di masa transisi yang panjang, ketika masyarakat tidak diberi kesempatan untuk mengganti atau memperbaharui pilihan mereka, representasi substantif beresiko menipis.
Wakil bisa saja melanjutkan tugasnya secara prosedural, tetapi kualitas hubungan dengan konstituen perlahan menurun.
Apalagi, dalam demokrasi, aspirasi rakyat bukan entitas yang statis. Ia bergerak, tumbuh, mengikuti peristiwa, pengalaman, dan krisis.
Konstalasi politik di 2024 belum tentu relevan di tahun 2030. Sementara anggota DPRD hasil Pemilu 2024 akan tetap menjabat hingga 2031, muncul risiko bahwa mereka tidak lagi mencerminkan kepentingan, isu, dan visi, publik yang aktual.
Dengan kata lain, mereka menjadi pemegang legitimasi masa lalu untuk zaman yang sudah berubah.
Terkait legitimasi, Max Weber, seperti diuraikan di awal tulisan ini, memberikan landasan teoritis penting dalam membacanya.
Bagi Weber, legitimasi adalah kunci bagi terwujudnya stabilitas dan kelangsungan suatu sistem sosial politik.
Jika prosedur sah yaitu Pemilu, tidak dilakukan, maka walaupun regulasi memberi ruang perpanjang jabatan, penerimaan sosial terhadap wakil rakyat bisa melemah.
Masyarakat bisa mempertanyakan apakah wakil mereka benar-benar masih “wakil” atau hanya figur administratif yang terus menjabat karena sistem.
Persoalan menjadi kompleks saat kita memandang kekuasaan legislatif sebagai aktor politik yang menjalankan fungsi strategis: menyusun anggaran, mengesahkan peraturan daerah, hingga mengawasi jalannya pemerintahan.
Ketika fungsi-fungsi penting ini dijalankan oleh individu atau kelompok yang belum diperbaharui mandatnya, maka keputusan yang lahir beresiko dianggap tidak merepresentasikan kehendak masyarakat mutakhir.
Demokrasi kemudian kehilangan elemen vitalnya: pembaruan.
Memang, legalitas memberikan dasar bagi perpanjangan jabatan sampai ada pengganti terlantik.
Namun dalam demokrasi, legalitas bukanlah titik akhir.
Ia mesti bersanding dengan legitimasi sosial dan moral. Kita tak hanya menanyakan “apakah boleh,” tetapi juga “apakah patut.”
Dalam konteks wakil rakyat, yang patut adalah mewakili secara aktif, bukan mewakili karena tidak ada pilihan lain.
Jalan keluarnya bukan sekedar mempercepat pemilu atau mempersingkat masa jabatan.
Yang jauh lebih penting adalah merancang mekanisme transisi yang demokratis secara substansial.
Rakyat harus tetap diberi ruang partisipatif untuk bersuara, terlibat, dan mengawasi.
Wakil rakyat dalam masa transisi harus lebih terbuka, membatasi keputusan strategis jangka panjang, dan secara aktif melaporkan kinerja mereka pada publik.
Di masa transisi ini, ruang komunikasi antara rakyat dan wakilnya menjadi kunci untuk menjaga legitimasi.
Forum warga, kanal digital, dan media massa harus diberdayakan agar suara rakyat tidak terputus.
Karena dalam teori Pitkin, representasi hanya hidup jika ada hubungan terus-menerus antara yang diwakili dan yang mewakili.
Jika hubungan ini terputus karena waktu, prosedur, atau ketidakpedulian, maka demokrasi sedang menuju kekosongan makna.
Masa transisi dua tahun setengah adalah masa yang harus disiapkan.
Masa ini bisa dibuat menjadi lebih efektif dan menjadi ruang reflektif bahwa mandat rakyat tidak boleh menjadi beku.
Sebaliknya, harus terus dihidupkan melalui partisipasi dan transparansi.
Jika pemilu terjeda, maka ruang representasi harus diperluas agar suara rakyat tetap hadir dalam tiap keputusan politik.
Legitimasi bukan hanya soal regulasi, tetapi tentang hubungan antara kekuasaan dan rakyat.
Apakah kita masih memegang teguh prinsip bahwa kekuasaan hanya sah bila dipilih? Atau perlahan menerima bahwa prosedur cukup, meski partisipasi tertunda?
Jika kita tetap menyepakati bahwa suara rakyat adalah kedaulatan tertinggi, maka masa transisi bukan jeda administratif, melainkan ujian demokrasi.
Masa yang harus menjadi ruang kontemplatif bahwa representasi politik tidak beku, dan legitimasi tidak lahir semata dari prosedur, tetapi dari keterlibatan publik yang terus dihidupkan.


