Pengorbanan
“The animal looks at us, and we are naked before it. Thinking perhaps begins there.” — Jacques Derrida
War and Scapegoats dalam This Is Not Sufficient: An Essay on Animality and Human Nature in Derrida menggagas pembongkaran mendalam terhadap kekerasan global melalui analisis atas apa yang disebut Leonard Lawlor sebagai “globalisasi sebagai perang tanpa perang” dan logika scapegoating. Melalui kacamata dekonstruktif Derrida, tampak bagaimana kekerasan terhadap hewan dan yang-lain (the other) menjadi titik paling jujur dalam menilai kemunafikan etik umat manusia. Bukan saja hewan ditolak sebagai subjek moral, tetapi justru diposisikan sebagai figur buangan yang menjadi poros diam dari identitas manusia itu sendiri. Di dunia yang terobsesi dengan keamanan, kemajuan, dan keteraturan, hewan menjadi simbol dari yang tidak berbahasa, yang tidak suci, yang boleh dikorbankan.
Dekonstruksi Derrida hadir sebagai pisau analisis untuk menggugat batas-batas itu. Ketika Derrida berbicara tentang the animal that therefore I am, ia tidak sedang sekadar bermain kata-kata; ia sedang menunjukkan bahwa fondasi identitas manusia dibangun melalui penolakan terhadap hewan. Hewan, dalam logika barat sejak Descartes hingga Heidegger, bukanlah makhluk yang merespons, melainkan hanya bereaksi. Lawlor menunjukkan bagaimana narasi inilah yang digunakan untuk melegitimasi kekerasan sistemik terhadap binatang—mereka tidak benar-benar menderita karena mereka tidak tahu bahwa mereka menderita. Dari sinilah muncul legitimasi bagi pabrik-pabrik daging, eksperimen laboratorium, dan ekosida sebagai kebijakan negara. Dalam kebungkaman hewan, manusia memaksakan dirinya sebagai satu-satunya entitas yang pantas menerima belas kasih, hukum, dan martabat.
Namun, Lawlor tidak berhenti pada Derrida. Ia menyentuh dimensi yang lebih luas: bagaimana logika ini melekat dalam tatanan dunia yang kita sebut “global”. Dunia yang tidak lagi mengenali perang sebagai pengecualian, melainkan menjadikannya keadaan normal. Kekerasan tidak lagi muncul dalam bentuk invasi atau penindasan terbuka, melainkan dalam bentuk regulasi, pengabaian, dan pembedaan siapa yang berhak hidup dan siapa yang boleh mati. Di sinilah Giorgio Agamben menjadi kunci. Dalam The Open: Man and Animal, Agamben memperkenalkan konsep homo sacer—figur yang dikucilkan dari komunitas, yang boleh dibunuh namun tidak dikorbankan. Hewan dalam analisis Lawlor mengambil posisi itu. Mereka adalah entitas yang keberadaannya di luar hukum, dan justru karena itu menjadi dasar dari hukum.
Dengan mengadopsi konsep Agamben, kita mulai memahami bahwa hewan bukan sekadar korban biologis. Mereka adalah figur politis. Mereka adalah makhluk yang hidup dalam zona abu-abu antara yang legal dan ilegal, antara yang dapat dikorbankan dan yang tidak diakui sebagai pengorbanan. Dunia modern menyimpan paradoks yang dalam: kita mengaku mengasihi binatang, tetapi kita mentolerir sistem yang memperlakukan mereka lebih rendah dari sampah. Seperti halnya para pengungsi, kaum miskin, atau bangsa-bangsa yang dijajah atas nama demokrasi, hewan juga menjadi bagian dari populasi yang “dikecualikan”. Mereka adalah bare life—kehidupan telanjang yang bisa dilenyapkan tanpa konsekuensi moral.
Di titik inilah Judith Butler memberikan pendalaman penting. Dalam Precarious Life, Butler mengajak kita untuk merenung: mengapa ada kehidupan yang layak diratapi dan kehidupan yang tidak? Mengapa ada kematian yang memicu duka kolektif dan ada yang tenggelam dalam statistik atau narasi “itu wajar terjadi”? Scapegoating tidak hanya sebuah mekanisme untuk melepaskan rasa bersalah; ia juga adalah strategi untuk menutupi penderitaan yang diproduksi oleh sistem. Hewan—seperti juga korban perang, koloni, dan mereka yang tinggal di perbatasan dunia—tidak hanya dikorbankan, tetapi juga dihapus dari narasi. Tidak ada kamera yang menangis untuk mereka. Tidak ada doa yang ditulis untuk kematian seekor sapi yang digorok dalam pabrik. Tidak ada monumen untuk rubah yang dibantai atas nama fashion. Mereka adalah makhluk yang hidup dan mati dalam sunyi—dan sunyi itu dikonstruksi oleh kita.
Namun scapegoating bukan sekadar masalah etik, melainkan juga masalah ideologis. Di sinilah Slavoj Žižek dalam Violence: Six Sideways Reflections menajamkan sorotan. Ia menunjukkan bahwa kekerasan paling radikal sering kali justru tersembunyi dalam tatanan yang tampak damai. Demokrasi liberal, yang mengklaim dirinya sebagai penjaga hak asasi, dalam praktiknya justru menciptakan sistem kekerasan simbolik yang tak terdeteksi. Kekerasan terhadap hewan bukan lagi dilakukan oleh individu sadis, tetapi oleh sistem produksi pangan, sains, dan konsumsi yang kita anggap “normal”. Kita menertibkan dunia melalui klasifikasi: ini manusia, ini bukan. Ini sahabat, ini korban. Dalam logika ini, scapegoating menjadi mekanisme ideologis untuk menjaga kemurnian identitas. Korban diperlukan agar mayoritas bisa merasa baik, merasa benar, merasa manusia.
Lawlor menulis bahwa di dunia hari ini, “kita semua mencari kambing hitam, dan tak ada yang mau menjadi salah satunya.” Kalimat itu mengguncang karena ia menelanjangi hipokrisi kita. Kita ingin menjadi adil, tetapi menolak melihat siapa yang dikorbankan demi keadilan itu. Kita ingin menjadi manusia, tetapi menolak mengakui sisi hewan dalam diri kita. Kita ingin bebas dari dosa, tetapi tak ingin tahu siapa yang kita tumbalkan. Dalam labirin ini, Lawlor menantang kita untuk menjawab pertanyaan yang tak nyaman: apakah mungkin ada tanggung jawab yang tidak mengandalkan pengorbanan? Apakah mungkin ada keadilan yang tidak dibangun dari penderitaan makhluk lain?
Esai ini bukanlah jawaban, tetapi sebuah gema. Sebuah gema dari jeritan yang tak terdengar, dari tatapan hewan yang dilupakan, dari darah yang mengering di tempat yang tak pernah kita lihat. Ia memanggil kita untuk mendengarkan, bukan demi merasa bersalah, tetapi demi menyadari: bahwa dalam setiap kambing yang kita tumpahkan, ada cermin yang memantulkan wajah kita sendiri. Dan mungkin, di sanalah titik awal dari berpikir yang benar-benar manusiawi.


