Sistem pendidikan di Indonesia, yang selama ini kita jalani dan warisi, sejatinya adalah produk kolonialisme. Sejak era penjajahan Belanda, pendidikan di tanah air tidak didesain untuk membentuk manusia yang merdeka dan berpikir kritis, melainkan untuk mencetak tenaga kerja terampil yang patuh pada sistem. Sekolah-sekolah kolonial seperti Hollandsch-Inlandsche School (HIS) dan Europeesche Lagere School (ELS) merupakan instrumen penjajahan yang menanamkan mental kelas dan ketundukan struktural. Nilai manusia diukur dari posisi dan jabatan, bukan dari makna, akhlak, atau ilmu.

Sayangnya, paradigma itu masih kuat bertahan hingga kini. Pendidikan dinilai berhasil jika seseorang berhasil menjadi ASN, pejabat, atau memiliki penghasilan tinggi. Tidak sedikit guru pun akhirnya terjebak dalam standar ini: bekerja keras bukan untuk mendidik dengan sepenuh hati, tetapi agar cepat diangkat menjadi PNS. Demikian pula orang tua, yang bangga ketika anaknya lulus jadi aparatur negara, tetapi kecewa ketika anaknya “hanya” menjadi guru honorer atau wirausaha yang tak bergaji tetap.

Guru honorer, yang sejatinya menjadi tulang punggung pendidikan di pelosok-pelosok negeri, sering kali dipandang rendah. Mereka dianggap sebagai pekerja kelas dua, padahal tanggung jawab dan pengabdian mereka tidak kalah dari guru berstatus ASN. Bahkan dalam banyak hal, dedikasi guru honorer justru lebih kuat—karena dijalani dengan ketulusan, bukan sekadar imbalan.

Inilah warisan cara berpikir kolonial yang masih hidup dalam masyarakat kita: status lebih penting dari proses, jabatan lebih dihormati daripada keilmuan, dan materi lebih dihargai dari manfaat. Pandangan sempit ini melahirkan sistem pendidikan yang miskin makna, kehilangan ruh, dan menjauh dari tujuan utamanya: memanusiakan manusia.

Perubahan tidak cukup hanya pada kebijakan, tetapi harus dimulai dari cara pandang. Guru harus memaknai kembali hakikat profesinya sebagai pengabdi ilmu dan pembentuk peradaban, bukan semata pegawai negara. Orang tua harus menyadari bahwa tujuan menyekolahkan anak bukan untuk menjadikannya orang kaya atau pejabat, melainkan agar anak tumbuh sebagai manusia berilmu, jujur, dan bermanfaat.

Jika status sebagai ASN kalian dapatkan, maka bersyukurlah. Tapi jika status sebagai guru honorer masih melekat, maka tetaplah bersyukur dan berbanggalah. Jangan pernah merasa rendah diri, minder, atau tidak percaya diri hanya karena status administratif. Justru di situlah letak kemuliaan pendidikan yang sesungguhnya: ketika seorang guru tetap menyala semangatnya, meski tanpa pengakuan formal. Ketika ia tetap menyalakan cahaya dalam jiwa anak didik, meski dibatasi oleh sistem yang tidak adil.

Rasa tidak nyaman terhadap status honorer lahir dari definisi keliru tentang arti menjadi guru. Jika cara pandang kita tentang profesi pendidik diluruskan, maka rasa bahagia akan selalu hadir, sebab kita tahu: tugas ini bukan untuk mengejar pujian atau posisi, tapi untuk membebaskan manusia dari kegelapan berpikir. Itulah hakikat kemuliaan menjadi pendidik.

Belajar dari Negara yang Memuliakan Ilmu, Bukan Jabatan

Kita bisa belajar dari negara-negara yang telah berhasil melepaskan diri dari cara pandang kolonial dalam pendidikan.

Finlandia

Finlandia adalah contoh sistem pendidikan yang berorientasi pada kemanusiaan, bukan jabatan. Di sana, anak-anak belajar tanpa tekanan ujian nasional. Guru dihormati bukan karena status, tapi karena dedikasi dan integritasnya. Masyarakatnya tidak sibuk memburu PNS, tetapi memberi kebebasan anak tumbuh sesuai minat dan bakat.

Iran

Iran, meskipun dikepung sanksi dan tekanan ekonomi, berhasil menunjukkan bahwa ilmu bisa menjadi jalan jihad dan kemandirian bangsa. Banyak generasi mudanya tumbuh sebagai ilmuwan, peneliti, dan wirausahawan yang lahir dari sistem pendidikan spiritual dan nasionalis. Masyarakatnya tidak memuja jabatan, tetapi mencintai ilmu sebagai jalan kehidupan dan perjuangan.

Saatnya Sistem dan Cara Pandang Kita Dibebaskan

Jika bangsa ini ingin benar-benar merdeka dalam dunia pendidikan, maka perubahan harus dimulai dari dua sisi: cara pandang masyarakat dan sistem pendidikan itu sendiri. Selama guru dan orang tua masih memandang keberhasilan dari sisi material, maka sekolah hanya akan melahirkan kompetisi status, bukan peradaban.

Di sisi lain, sistem pendidikan pun harus dibenahi secara struktural. Terlalu lama para guru dijadikan alat statistik dan beban administrasi. Mereka terjepit dalam sistem yang tidak mengakui nilai kemanusiaan dan pengabdian, tapi hanya melihat angka, sertifikat, dan laporan. Mereka dijadikan “sapi perah” oleh mekanisme kapitalisme birokratis.

Selama pendidikan masih dikendalikan oleh pola pikir kolonial dan kapitalistik, kita hanya akan terus mencetak generasi yang kompetitif, bukan kolaboratif; cerdas secara teknis, tapi miskin hikmah.

Sudah waktunya kita bebaskan pendidikan dari belenggu lama, dan mengembalikan ruhnya: membentuk manusia yang hidup dalam ilmu, hikmah, dan kasih sayang.

Oleh Supriadii Pimpred Sandeqnews Ketua Divisi Humas PGIN Sulawesi Barat

Tinggalkan komentar