Menjelang Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-80, ruang publik baik fisik maupun digital kembali riuh. Bukan karena parade atau karnaval, tapi karena fenomena pengibaran bendera Jolly Roger milik kelompok bajak laut Topi Jerami dari serial anime One Piece, yang dikibarkan berdampingan dengan bendera Merah Putih.
Fenomena ini viral. Di media sosial, banyak anak muda ikut mengunggah foto bendera bergambar tengkorak bertopi jerami itu, berdampingan dengan bendera negara. Sebagian terlihat sadar dan paham maknanya. Sebagian lainnya tampak sekadar FOMO ikut-ikutan agar tak ketinggalan tren.
Namun kemudian muncul suara-suara keras dari kalangan pejabat. Wakil Ketua DPR RI menyebut ini sebagai potensi gerakan sistematis yang memecah belah bangsa. Menko Polhukam bahkan menganggapnya bentuk provokasi. Di sisi lain, Wakil Menteri Dalam Negeri mencoba melihatnya secara lebih moderat sebagai ekspresi simbolik dari budaya populer.
Pertanyaannya: apa sebenarnya yang sedang terjadi?
Lebih dari Sekadar Kartun
One Piece bukan sekadar tontonan hiburan. Serial yang ditulis dan diilustrasikan oleh Eiichiro Oda ini telah menembus lebih dari 1.100 episode dan masih terus berlanjut sejak debutnya pada 1997. Ceritanya mengikuti petualangan Monkey D. Luffy dan kru bajak laut Topi Jerami dalam pencarian harta karun legendaris bernama One Piece.
Namun di balik petualangan dan adegan lucu, One Piece menyimpan banyak lapisan narasi: tentang sejarah yang dimanipulasi, pembungkaman intelektual, oligarki yang mengendalikan sistem, diskriminasi, rasisme, dan pemberontakan terhadap ketidakadilan yang dilanggengkan oleh kekuasaan.
Bendera Jolly Roger milik Topi Jerami tengkorak tersenyum dengan topi jerami khas Luffy bukan sekadar lambang bajak laut. Ia adalah simbol perlawanan terhadap tatanan dunia yang korup dan penuh ketidakadilan. Dalam semesta One Piece, mereka bukan penjahat. Mereka justru korban dari sistem yang menindas.
Dari Sejarah ke Hukum: Simbol yang Mengganggu
Mengutip artikel ABC News, sejarahwan Dr. Rebecca Simon menjelaskan bahwa bendera bajak laut awalnya berwarna merah (joli rouge), menandakan “tidak ada ampun” bagi musuh. Seiring waktu, muncul versi hitam dengan tengkorak dan lambang unik masing-masing kru.
Namun, ketika simbol ini dikibarkan sejajar dengan Merah Putih, muncullah kegelisahan. Pasal 24 UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara secara jelas menyebut bahwa bendera Merah Putih tidak boleh diposisikan sejajar dengan bendera lain, kecuali dalam hubungan diplomatik.
Di sisi lain, konstitusi juga melindungi kebebasan berekspresi. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk mengungkapkan pendapat, termasuk melalui simbol-simbol budaya.
Maka, ketika anak muda mengibarkan bendera Jolly Roger di bulan Agustus, itu bisa dibaca sebagai kritik simbolik, bukan provokasi. Simbol ini menjadi perantara ekspresi: menyuarakan kegelisahan, menyindir ketimpangan, dan menuntut keadilan.
Yang Ditakuti Bukan Kainnya, Tapi Maknanya
Pertanyaannya: mengapa pengibaran bendera fiksi ini membuat penguasa gelisah?
Jawabannya bisa jadi bukan karena gambar tengkorak itu sendiri, tapi karena cerita di baliknya terlalu mirip dengan realitas kita. Tentang Ohara sebuah pulau yang dihancurkan karena menyimpan sejarah. Tentang Tenryubito penguasa yang sewenang-wenang tapi dilindungi. Tentang Gorosei oligarki global yang mengendalikan narasi dan ekonomi.
Apakah ini terlalu dekat dengan sistem politik kita hari ini?
Di tengah usia 80 tahun kemerdekaan, ketika masih banyak rakyat tidak merasakan keadilan, ketika suara-suara kritis dibungkam, dan ketika oligarki semakin mencengkeram, maka wajar jika generasi muda mulai mencari simbol-simbol baru untuk menyuarakan protes.
Bukan lewat mimbar politik, tapi lewat bendera dari dunia fiksi.
Jangan Salah Tafsir: Ini Tentang Harapan, Bukan Penghinaan
Mengibarkan Jolly Roger di bulan kemerdekaan bukan berarti ingin menggantikan bendera negara. Ini adalah sinyal, bahwa ada banyak hal yang belum tuntas dari cita-cita kemerdekaan. Bahwa masih ada luka yang disembunyikan, ketimpangan yang dibiarkan, dan janji yang belum ditepati.
Simbol bisa menjadi alat komunikasi yang paling kuat. Dan saat anak muda mulai memilih simbol bajak laut sebagai ekspresi, seharusnya kita tidak langsung mencapnya sebagai pengkhianat bangsa.
Mungkin yang perlu ditakuti bukan benderanya, tapi kekecewaan yang membuat mereka memilih bendera lain untuk menyuarakan perasaan.
Penutup: Jolly Roger dan Harapan yang Tak Mati
Indonesia tidak akan runtuh oleh selembar kain dengan gambar tengkorak. Tapi bisa lelah dan runtuh jika terus menolak mendengarkan suara rakyatnya. Dalam bendera Jolly Roger, mungkin mereka tidak melihat ancaman. Tapi kita—rakyat—melihat panggilan untuk bangkit, untuk melawan ketidakadilan, dan untuk terus bermimpi.
Dan bukankah itu esensi dari kemerdekaan?


