SELAYAR – Ketegangan kembali mencuat di perairan konservasi Taman Nasional Taka Bonerate (TNTBR), Kepulauan Selayar, menyusul penyegelan sejumlah keramba ikan hidup milik nelayan lokal. Peristiwa ini membuka kembali perdebatan lama tentang keadilan dalam pengelolaan kawasan konservasi laut—antara perlindungan ekosistem dan keberlangsungan hidup masyarakat pesisir.
Nelayan dan pembeli ikan hidup mengaku telah menempuh jalur resmi sebagaimana diarahkan Balai TNTBR, termasuk pengurusan izin dan Perjanjian Kerja Sama (PKS). Namun, bukannya kepastian hukum yang mereka terima, justru usaha mereka dihentikan secara sepihak. Keramba disegel, alat tangkap disita, dan aktivitas mereka terhenti tanpa penjelasan hukum yang transparan.
“Kami sudah bangun keramba, urus izin usaha, dan lengkapi semua administrasi. Tapi kenapa kami yang dihentikan, sementara yang lain masih bebas beroperasi?” ungkap Saiful, salah satu pembeli ikan hidup di Takabonerate.
Ironi makin terasa ketika keramba lain yang tidak jelas status legalitasnya justru tetap dibiarkan beroperasi. Ketimpangan ini menimbulkan dugaan adanya praktik pilih kasih, mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan konservasi yang seharusnya adil.
Tak hanya soal bisnis, bahkan keramba untuk ketahanan pangan masyarakat pun menjadi sorotan. Warga mempertanyakan apakah keramba mereka akan menerima sanksi yang sama hanya karena tidak memiliki PKS. Jika tidak, apa bedanya dampaknya terhadap lingkungan?
“Kalau keramba pangan tidak dilarang, lalu apa bedanya dengan keramba kami terhadap lingkungan? Apakah yang satu merusak dan yang lain tidak? Ini yang tidak masuk akal,” kata seorang nelayan lainnya.
Di sisi lain, banyak pembeli ikan yang telah mengurus permohonan PKS mengaku belum menerima kejelasan selama berbulan-bulan. Proses administrasi dinilai lambat, dan alasan “menunggu keputusan pusat” menjadi jawaban rutin yang membingungkan.
Parahnya lagi, di saat nelayan lokal dibatasi, kapal-kapal pukat dari luar justru bebas masuk dan beroperasi menggunakan alat tangkap skala besar.
“Nelayan luar masuk dengan pukat besar, sementara kami malah diminta ikut patroli. Ironis,” kata seorang tokoh pemuda pesisir.
Pihak kepolisian pun turut memberi penjelasan. Kasi Humas Polres Kepulauan Selayar menyatakan bahwa penyegelan keramba bukan merupakan inisiatif kepolisian, melainkan bagian dari Operasi Gabungan yang dipimpin oleh Jagawana. “Tidak ditemukan unsur pidana, jadi police line kami buka. Soal PKS, silakan bermohon ke Balai,” terangnya.
Situasi ini menandai perlunya pembenahan menyeluruh atas sistem pengelolaan kawasan konservasi. Konservasi laut bukan hanya soal melindungi ikan dan terumbu karang, tetapi juga tentang hadirnya keadilan bagi mereka yang menggantungkan hidup dari laut.
“Nelayan kecil bukan musuh konservasi. Mereka bisa jadi mitra terbaik jika dilibatkan secara aktif, terbuka, dan adil,” tegas seorang aktivis lokal.
Kisah Takabonerate bukan semata tentang ikan atau keramba, tetapi tentang bagaimana negara menjalankan peran pengayomnya. Konservasi sejati seharusnya mampu menyelamatkan alam dan manusia yang menjaganya.


