SIDRAP – Perjalanan ke Kecamatan Pitu Riase, Kabupaten Sidenreng Rappang, bukan sekadar soal jarak. Jalan meliuk-liuk, naik-turun, diapit kebun dan hutan. Tapi di ujung jalan itu, suara yang terdengar justru tidak biasa: “Bonjour!”

Bukan teriakan penjual sayur atau salam dari imam masjid, melainkan sapaan ramah anak-anak desa. Sapaan ini hadir berkat Nur Handayani, mahasiswi Sastra Prancis Universitas Hasanuddin Makassar, yang datang sebagai peserta KKN Tematik Gelombang 114.

Namun, program KKN Nur berbeda dari kebanyakan. Ia tidak menanam pohon atau mengecat gapura. Ia membawa bahasa Prancis ke empat dusun: Lemo, Lariu, Matajang, dan Tanatoro, dengan posko utama di Lemo. Di sana, ia menggelar tujuh kali pertemuan, sementara dusun lainnya mendapat satu hingga dua kali kunjungan.

Metodenya sederhana: belajar sambil bermain. Anak-anak diajak mengucap alfabet, menghitung angka, memperkenalkan diri, bahkan mengikuti lomba kecil. Yang kalah mengulang kata, yang menang mendapat permen.

Warga menyambut dengan senyum. “Anak-anak di sini belum pernah belajar bahasa ini,” ujar seorang warga. Aparat desa turut mendukung, menyadari bahwa ini bukan sekadar kosakata, tetapi pintu menuju dunia yang lebih luas.

Nur pun tak mematok hasil instan. “Saya ingin menumbuhkan rasa percaya diri. Bahasa Prancis hanya jembatan. Kalau mereka mau menyeberang, ke mana pun bisa sampai,” katanya.

Kini, anak-anak Lemo bisa menyapa tamu dengan “Bonjour”. Logatnya memang belum sempurna, tapi antusiasme mereka jauh lebih penting. Pada hari terakhir, seorang anak SD bertanya polos, “Kak, kalau mau ke Prancis kita naik apa?” Nur tersenyum, “Naik semangat belajar dulu.”

Lemo mungkin tidak punya Menara Eiffel. Tapi di hati anak-anaknya, sudah berdiri sebuah monumen kecil: keyakinan bahwa mereka bisa menjangkau dunia.