Orientalisme bukan isu lawas yang kadaluarsa. Edward Said menegaskan, Barat membangun citra Timur sebagai eksotik, irasional, dan inferior—sebuah citra yang diproduksi lewat teks akademik, sastra, dan media. Konsekuensinya, dunia non-Barat kehilangan hak atas representasi dirinya sendiri, karena wacana yang mendominasi menentukan siapa yang dianggap berkuasa dan siapa yang menjadi objek.

Di era digital, orientalisme justru mendapat panggung baru. TikTok, Instagram, YouTube, dan platform sejenis menjadi arena penyebaran stereotip yang lebih cepat dan masif. Meme, filter, dan konten viral mampu menanam stereotip seperti “wanita Timur lembut pasrah” atau “laki-laki Arab agresif” ke dalam budaya populer, bahkan membentuk opini publik dan memengaruhi kebijakan. Stereotip ini tidak hanya muncul dalam hiburan, tapi juga dalam iklan global, konten wisata, dan ulasan film, di mana budaya non-Barat sering digambarkan eksotik atau kuno.

Artificial intelligence (AI) generatif memperkuat ketimpangan ini. Permintaan gambar “wanita cantik” lebih sering menampilkan wajah Eropa; prompt “pemimpin kuat” kerap menampilkan tokoh kulit putih. Ketimpangan representasi ini bukan sekadar soal estetika, melainkan politik: teknologi yang seharusnya netral justru memperkuat praktik orientalis lama. Studi Stanford Human-Centered AI Institute menunjukkan sebagian besar dataset global masih bias rasial dan gender, yang berpotensi menghasilkan visualisasi dan prediksi yang menyesatkan.

Media sosial mempercepat bias lama. Berita perang di Barat disebut “tragedi kemanusiaan”, sementara perang di Timur sering dibingkai sebagai “kekacauan” atau “fanatisme”. Narasi seperti ini menciptakan jarak simbolik antara “kita” dan “mereka”, membuat dunia non-Barat selalu berada di posisi subordinat dalam imajinasi publik global.

Tugas kaum intelektual kini semakin kompleks. Perlawanan terhadap orientalisme digital tidak cukup lewat jurnal atau seminar. Kita perlu hadir di Instagram Story, kolom komentar YouTube, dan video TikTok, menyebarkan konten kritis dengan cara yang relevan dan kreatif. Humor, podcast, thread informatif, atau video singkat bisa menjadi senjata efektif, terutama untuk generasi muda yang lebih responsif terhadap media digital.

Dekolonisasi digital bukan soal membenci Barat, tapi merebut hak bercerita dari posisi kita sendiri. Ini dimulai dari kesadaran internal—cara kita melihat diri, sejarah, bahasa, dan memilih narasi yang kita ikuti. AI harus dikritisi: dataset inklusif dan representatif adalah keharusan, bukan pilihan. Literasi digital menjadi alat utama untuk meretas orientalisme baru yang licin dan samar, hadir lewat emoji, algoritma, dan tren viral.

Sebagaimana Said tegaskan, “There is no such thing as a pure representation.” Setiap representasi membawa ideologi. Kita harus terus bertanya: siapa yang mewakili, untuk siapa, dan dari posisi mana? Di era digital, kaum intelektual bukan penceramah, tapi pembelajar yang bersuara, membantu publik memahami bahwa di balik kecepatan konten, selalu ada struktur; dan di balik struktur, selalu ada kuasa.