Takalar, Lapagala.comFestival Tani yang digelar Petani Polongbangkeng bersama Gerakan Rakyat Anti Monopoli Tanah (GRAMT) pada 18–19 Agustus 2025 di Kelurahan Parang Luara, Takalar, menjadi momentum penting memperingati 80 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Namun, di balik perayaan tersebut, festival ini juga merefleksikan perjuangan panjang petani melawan perampasan tanah yang telah berlangsung hampir setengah abad.

Mengangkat tema “47 Tahun Suara Korban Pelanggaran HAM: Dari Ladang ke Ingatan, Suara yang Tak Pernah Padam”, festival ini diikuti sekitar 250 petani dari tujuh desa di dua kecamatan Kabupaten Takalar. Berbagai kegiatan digelar, mulai dari lomba, seni, musik, pameran arsip, hingga diskusi publik, yang diarahkan untuk menghidupkan kembali ingatan kolektif atas perjuangan petani melawan ketidakadilan struktural.

Sejak 1978 hingga 1990-an, ribuan petani Polongbangkeng dipaksa menyerahkan tanah warisan leluhur kepada PTPN I Regional 8 untuk perkebunan tebu. Proses itu diwarnai intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi oleh aparat. Meski sebagian petani dijanjikan tanahnya dikembalikan setelah kontrak 25 tahun, kenyataannya PTPN tetap menguasai lahan bahkan setelah masa Hak Guna Usaha (HGU) seluas 6.650 hektare berakhir pada 9 Juli 2024.

“Sejak 47 tahun yang lalu, petani Polongbangkeng Takalar melakukan perlawanan terhadap perampasan tanah dan terus merawat perjuangan kolektif untuk merebut kembali hak atas tanahnya. Momentum 80 tahun kemerdekaan sejatinya tidak hanya dijadikan sebagai kegiatan seremonial belaka, tetapi juga ruang refleksi untuk menghentikan segala bentuk pelanggaran HAM dan HAP,” tegas Muzdalifah Jamal, perwakilan GRAMT.

Bagi para petani, tanah bukan sekadar sumber ekonomi, tetapi juga harga diri, harapan, dan keberlanjutan hidup generasi berikutnya.

“Dulu saya dipaksa untuk menyerahkan tanah orang tua saya ke perusahaan dengan janji di kontrak cuma 25 tahun, setelah itu dikembalikan. Tapi nyatanya sampai hari ini tanah kami masih dikuasai PTPN padahal HGUnya sudah habis,” ungkap Dg. Serang, salah satu perwakilan petani.

Festival Tani Polongbangkeng tahun ini menjadi simbol perlawanan dan solidaritas, sekaligus penegasan bahwa suara petani tidak akan padam. Mereka berharap pemerintah pusat dan daerah dapat turun tangan mencari solusi konkret terhadap konflik agraria yang telah berlangsung selama puluhan tahun di Takalar.