Sebagai mahasiswa di Makassar yang lahir dan besar di Sidenreng Rappang (Sidrap) sekaligus pengurus pusat Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia (IPMI) Sidrap, saya merasa memiliki tanggung jawab moral untuk mengenalkan kembali sosok Nene’ Mallomo kepada masyarakat luas.

Beberapa hari lalu, saya bersama empat rekan pengurus pusat IPMI Sidrap dan satu pengurus cabang melakukan kunjungan langsung ke makam Nene’ Mallomo di Sidrap. Kami adalah:

  • Saya sendiri, Yusril Yasir – Pengurus Pusat IPMI Sidrap
  • Muh. Sukri – Ketua II IPMI Pusat Sidrap
  • Dinda – Pengurus Pusat IPMI Sidrap
  • Shaiful – Pengurus Pusat IPMI Sidrap
  • Muh. Basir – Ketua Cabang IPMI Panca Lautang

Kunjungan ini menjadi pengalaman yang penuh makna. Berdiri di makam Nene’ Mallomo, kami merasakan betapa besarnya warisan nilai, pengetahuan, dan prinsip hidup yang telah beliau tinggalkan. Namun, kami juga merenungkan fakta bahwa masih banyak masyarakat Sidrap, bahkan Sulawesi Selatan pada umumnya, yang belum mengenal sosok panrita besar ini secara utuh.


Nene’ Mallomo: Panrita Besar dari Sidrap

La Pagala atau La Makkarau, yang lebih dikenal dengan nama Nene’ Mallomo, adalah salah satu cendekiawan Bugis terbesar dalam sejarah. Beliau hidup pada pertengahan abad ke-17, di era pemerintahan La Pateddungi dan La Patiroi, dua Datu besar Kerajaan Sidrap.

Nene’ Mallomo diyakini memiliki peran penting dalam penyebaran Islam di Sidrap dan wafat pada tahun 1654. Proses Islamisasi sendiri dimulai sejak 20 September 1605, ketika Sombayya ri Gowa, I Mangngarangi Daeng Mangrabia Karaeng Lakiung, memeluk Islam dan bergelar Sultan Alauddin Awwalul Islam. Dalam konteks ini, Nene’ Mallomo adalah salah satu figur penting yang mengharmonikan ajaran Islam dengan falsafah hukum dan adat Bugis.


Jaringan Intelektual Bugis di Abad ke-17

Pada masanya, Sidrap dikenal sebagai salah satu pusat diskursus intelektual. Nene’ Mallomo memiliki kolega sesama panrita (cendekiawan/pabbicarae) dari berbagai kerajaan Bugis-Makassar, di antaranya:

  • Kajao Laliddong (Bone)
  • Arung Bila (Soppeng)
  • La Mengguk (Luwu)
  • Puang Ri Maggalatung (Wajo)
  • Bonto Lempangang (Gowa)

Para panrita ini kerap melakukan pertemuan rutin untuk mendiskusikan hukum, tata pemerintahan, etika sosial, dan filsafat kehidupan. Salah satu tempat penting pertemuan mereka adalah Cenranae, Sidrap.

Fakta ini menegaskan bahwa Sidrap, pada abad ke-17, bukan hanya wilayah kerajaan, tetapi juga pusat pertukaran gagasan dan pengetahuan.


Prinsip Keadilan Nene’ Mallomo: “Naia Ade’e Temmakkeana Temmakeappo”

Salah satu warisan pemikiran paling monumental dari Nene’ Mallomo adalah ungkapan Bugis:

“Naia ade’e temmakkeana temmakeappo.”
Hukum tidak mengenal anak dan cucu.

Bagi beliau, keadilan adalah prinsip yang tak bisa ditawar. Siapa pun yang bersalah, baik rakyat biasa, bangsawan, pejabat, bahkan keluarga sendiri, harus menerima konsekuensi hukum.

Legenda menyebutkan, ketika anaknya sendiri kedapatan mencuri setangkai pohon milik tetangga, ia tetap dihukum mati. Kisah tragis ini mencerminkan keteguhan hati beliau dalam menjunjung supremasi hukum.

Jika kita menoleh ke sejarah dunia, peristiwa ini sejalan dengan kisah Socrates di Yunani Kuno, yang memilih meminum racun ketimbang melarikan diri dari hukuman eksekusi demi mematuhi hukum negaranya. Dari Sidrap hingga Athena, pesan moralnya sama: keadilan sejati sering kali menuntut pengorbanan terbesar.


Refleksi dan Tanggung Jawab Bersama

Kunjungan kami ke makam Nene’ Mallomo membawa satu kesadaran penting: nilai-nilai luhur yang beliau wariskan harus dijaga, diteliti, dan diwariskan kembali kepada seluruh masyarakat.

Ini bukan sekadar tugas generasi muda, tetapi tanggung jawab kolektif — melibatkan akademisi, budayawan, pemerintah daerah, dan seluruh elemen masyarakat Sidrap.

Sebagai pengurus pusat IPMI Sidrap, saya melihat beberapa langkah penting yang bisa kita dorong bersama:

  1. Perlindungan Situs Sejarah
    • Pemda Sidrap perlu mengeluarkan Surat Keputusan untuk melindungi dan merawat makam Nene’ Mallomo.
  2. Kajian dan Diskusi Rutin
    • Menggelar seminar, bedah pappaseng, dan kajian intelektual tentang pemikiran beliau dan jaringan panrita lainnya.
  3. Dokumentasi dan Publikasi
    • Mengumpulkan dan menulis ulang pappaseng, petuah, dan karya-karya Nene’ Mallomo agar bisa diakses publik.
  4. Integrasi Nilai Lokal ke Pendidikan
    • Memasukkan nilai-nilai keadilan dan integritas Nene’ Mallomo ke dalam kurikulum lokal Sidrap.

Bagi kami, berdiri di makam Nene’ Mallomo adalah pengalaman yang menggugah kesadaran. Di sana, kami merenungkan betapa pentingnya menghargai dan merawat warisan intelektual leluhur.

Mengenang Nene’ Mallomo bukan hanya mengenang seorang tokoh, tetapi menghidupkan kembali spirit keadilan, integritas, dan kearifan lokal yang beliau wariskan untuk Sidrap dan generasi seterusnya.

Saya bersama rekan-rekan IPMI Sidrap percaya, sudah saatnya masyarakat Sidrap secara keseluruhan — dari pemerintah, akademisi, pelajar, hingga masyarakat umum — bersatu menjaga dan mempopulerkan warisan pemikiran Nene’ Mallomo.

Dengan langkah kolektif, kita bisa memastikan nilai-nilai beliau tetap hidup, menjadi sumber inspirasi, dan memperkuat identitas Sidrap sebagai tanah lahirnya para panrita besar.