Makassar, Lapagala.com – Pengesahan KUHAP baru yang diharapkan menjadi tonggak modernisasi hukum acara pidana di Indonesia justru memantik gelombang kritik keras. Di tengah harapan akan hadirnya sistem peradilan pidana yang lebih manusiawi dan akuntabel, banyak pasal dalam KUHAP anyar ini dinilai tidak menyentuh akar persoalan klasik dan bahkan dianggap membuka ruang baru bagi penyalahgunaan wewenang aparat penegak hukum.

Kalangan akademisi, aktivis hukum, hingga organisasi masyarakat sipil menyoroti bahwa sejumlah ketentuan dalam KUHAP terbaru memperkuat posisi penyidik dan penuntut tanpa disertai mekanisme pengawasan yang memadai. Kewenangan tindakan paksa seperti penangkapan, penggeledahan, hingga penahanan dinilai masih longgar dan tidak sepenuhnya berada di bawah kontrol hakim.

Sejalan dengan hal tersebut aturan penangkapan pada KUHAP menimbulkan kekhawatiran serius. Pasalnya aturan penangkapan yang dirumuskan dalam UU baru ini memberi kewenangan yang terlalu luas kepada aparat, namun tidak disertai mekanisme pengawasan yang seimbang. Padahal, penangkapan adalah tindakan paling drastis yang bisa dilakukan negara terhadap kebebasan seorang warga. Ketika aturan ini dibuat longgar, maka pintu pelanggaran hak pun terbuka lebar.

*“Penangkapan tidak boleh menjadi tindakan tergesa dan sepihak. Namun KUHAP baru justru memberi kesan bahwa aparat dapat menangkap terlebih dahulu dan mempertanggungjawabkan kemudian. Ini sangat berbahaya bagi demokrasi dan perlindungan hak asasi,”* tegas Fadhly Ketua Umum IPMI Sidrap Pusat Makassar”

Lebih lanjut lagi, Lemahnya kontrol hakim dalam proses penangkapan terbilang menyalahi kedudukan hakim. Banyak negara dengan sistem hukum maju, tidak ada satu pun penangkapan yang dapat dilakukan tanpa persetujuan hakim. Namun KUHAP baru tidak menempatkan hakim sebagai filter utama terhadap tindakan pemaksaan terhadap warga.

*“Jika hakim tidak menjadi garda terdepan mengawasi penangkapan, maka sistem peradilan tidak memiliki rem yang cukup untuk menghentikan penyalahgunaan kekuasaan,”* tegas Fadhly.

Kelemahan-kelemahan ini membuat proses penangkapan rentan disalahgunakan, terutama terhadap kelompok yang selama ini paling sering menjadi korban kriminalisasi seperti masyarakat kecil, aktivis, jurnalis, dan warga yang tidak memiliki akses informasi maupun pendampingan hukum. KUHAP seharusnya menjadi benteng perlindungan, bukan alat yang memperluas ruang kesewenang-wenangan negara.