Opini – Bencana alam yang kembali melanda wilayah Sumatera dalam beberapa waktu terakhir bukanlah semata-mata peristiwa alamiah yang terjadi tanpa sebab. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa berbagai bentuk bencana—mulai dari banjir bandang, tanah longsor, hingga kabut asap akibat kebakaran hutan—merupakan konsekuensi langsung dari keserakahan manusia dalam mengeksploitasi alam secara berlebihan.
Sejumlah wilayah di Sumatera mengalami kerusakan ekologis yang cukup parah akibat praktik eksploitasi yang tidak terkendali. Aktivitas perambahan hutan, penebangan liar, pertambangan tak berizin, dan industrialisasi tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan telah memperlemah struktur alamiah yang selama ini melindungi masyarakat dari risiko bencana. Apa yang dahulu menjadi hutan lindung kini berubah menjadi area gundul. Sungai-sungai tercemar, daerah resapan air hilang, dan ekosistem terganggu secara masif.
Padahal, negara dengan tegas telah mengatur kewajiban setiap pihak untuk menjaga kelestarian lingkungan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan pada Pasal 65 ayat (1) bahwa “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.” Lebih lanjut, Pasal 67 menegaskan kewajiban setiap orang untuk memelihara kelestarian lingkungan dan mencegah kerusakan serta pencemaran.
Namun, berbagai bencana alam yang terjadi membuktikan bahwa regulasi yang ada sering kali diabaikan, baik oleh korporasi maupun oleh oknum yang mengambil keuntungan dari kelemahan pengawasan. Human greed—keserakahan manusia—menjadi faktor utama yang mendorong eksploitasi alam tanpa kontrol, hingga menyebabkan hilangnya keseimbangan ekologis. Ketika alam kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan diri, maka manusia pula yang menerima dampaknya.
SEMMI Bulukumba memandang bahwa tragedi bencana alam di Sumatera hari ini harus menjadi alarm keras bagi pemerintah, pelaku industri, dan seluruh elemen masyarakat untuk lebih tegas menghentikan segala bentuk eksploitasi yang merusak lingkungan. Pemerintah harus memperkuat penegakan hukum lingkungan, termasuk penerapan sanksi administratif, pidana, maupun perdata sebagaimana diatur dalam Undang-Undang 32/2009. Pelaku industri wajib memastikan bahwa operasional mereka berada dalam koridor hukum, tidak melanggar analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), serta berkomitmen pada praktik berkelanjutan.
Lebih jauh, wilayah-wilayah lain di Indonesia harus menjadikan bencana Sumatera sebagai peringatan keras. Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan seluruh daerah kepulauan mutlak melakukan langkah antisipatif melalui penguatan kebijakan perlindungan lingkungan, pengetatan izin usaha industri ekstraktif, serta pengawasan intensif terhadap tambang, perkebunan besar, dan proyek yang berpotensi merusak ekologi. Tanpa langkah pencegahan, bencana serupa hanya menunggu waktu untuk terjadi di daerah lain.
Untuk itu, SEMMI Bulukumba mendesak pemerintah pusat agar menetapkan bencana di Sumatera sebagai bencana nasional. Skala dampak, kerusakan ekologis, serta risiko kemanusiaan yang ditimbulkan sudah cukup untuk menempatkannya dalam kategori tersebut. Penetapan bencana nasional akan membuka ruang koordinasi lebih luas antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, BNPB, TNI–Polri, lembaga kemanusiaan, dan seluruh instrumen negara untuk melakukan penanganan terpadu, cepat, dan efektif. Lebih penting lagi, status ini memungkinkan adanya program pemulihan jangka panjang berbasis restorasi ekologi, bukan sekadar respons sementara.
Kami juga mengajak seluruh masyarakat untuk kembali membangun kesadaran ekologis bahwa bumi bukan hanya ruang hidup untuk hari ini, melainkan warisan yang harus dijaga demi generasi mendatang. Kerusakan yang terjadi saat ini adalah cerminan dari kegagalan moral kita dalam menghargai alam. Karena itu, solusi bukan hanya pada kebijakan, tetapi juga pada perubahan perilaku kolektif.
Bencana yang melanda Sumatera adalah pesan bahwa alam merespons setiap tindakan manusia. Jika kita terus memperlakukannya dengan keserakahan, maka konsekuensinya akan semakin berat. Tetapi jika kita kembali pada sikap menjaga, merawat, dan menghormati, maka alam akan kembali memberikan kehidupan, bukan kehancuran.
SEMMI Bulukumba menegaskan bahwa penyelamatan lingkungan bukan sekadar isu teknis, tetapi isu kemanusiaan. Melindungi alam berarti melindungi kehidupan.


